Tangerang Selatan (MTI) Dengan bergantinya mentri berganti pula aturan dan kurikulum pendidikan di Indonesia, kurikulum sudah mengalami salah pemak-naan. Menyelenggarakan pendidikan hanya secara instan. Jika di tinjau dari aspek kepentingan pribadi, itu masih kita anggap benar, apalagi kita di hadapkan dengan system pendidikan yang carut marut, Yang akan semakin mendapat pembe-naran. Tetapi jika kita menggunakan paradigma kebangsaan, keummatan, kerakyatan, atau kebutuhan makro, maka ada hal-hal yang harus kita cermati dan kritisi.
Hingga saat ini masalah pendidikan masih menjadi perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks Pembangunan Pen-didikan Untuk Semua atau education for all (EFA) di Indonesia menurun tiap ta-hunnya.
Salah satu penyebab rendahnya indeks pemba-ngunan pendidikan di Indonesia adalah tingginya jumlah anak putus sekolah. Selain itu Indonesia tidak hanya mengalami masalah pendidikan anak putus sekolah namun mulai dari buruknya infrastruktur hingga kurangnya mutu guru. Masalah utama pendidikan di Indonesia adalah kualitas guru yang masih rendah, kualitas kurikulum yang belum standar, dan kualitas infrastruktur yang belum memadai.
Selain itu Carut marut pendidikan kita ternyata bermula dari visi, misi, tujuan, kuri-kulum, metode sampai eva-luasi pendidikannya. Bahkan tidak hanya pada konsep, namun tataran teknis pun demikian. Dari sisi akademis, kurikulum yang senantiasa berganti dan kontroversi pelaksanaan ujian nasional masih menjadi momok tahunan. Kisruh Ujian Nasional (UN) yang baru-baru ini terjadi merupakan bukti nyata atas semua kondisi memprihatinkan tersebut.
Apalagi jika sekarang ini dihadapkan dengan carut marutnya pendidikan adanya perubahan kurikulum pen-didikan yang menjadi ritual setiap tahunnya, ini akan membuat proses belajar mengajar terganggu. Terlebih jika inti kurikulum yang digunakan berbeda dengan kurikulum lama sehingga mengakibatkan penyesuaian proses pembelajaran yang cukup lama.
Sebenarnya ini merupakan bukti kelemahan sistem pendidikan yang merupakan produk dari sistem pemerintahan demokrasi kapitalisme. Masyarakat mengakui bahwa kita memang belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan yang dapat dijadikan kompas bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif pendidikan di Tanah Air Padahal perubahan kurikulum Indonesia sudah mencapai sekitar sepuluh kali, yaitu tahun 1947, 1964, 1968, 1973, 1984, 1994, 1997, 1994, 2004, 2006, dan tahun 2013 (Kemendikbud, 2012).
Kritik apa lagi yang tidak dilontarkan terhadap Kemendiknas. Yang pasti, dari dulu setiap ganti menteri yang menangani pendidikan, selalu gonta-ganti kebijakan, bahkan kurikulum. Orang-orang yang bertugas di bidang pendidikan nasional selalu suka 'coba-coba' program, kebijakan, ter-masuk istilah-istilah. Hingga kini, masalah pendidikan kita seabrek jumlahnya, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi - semuanya sarat dengan masalah.
Tak terbayang, dengan kondisi seperti itu, mampukah terwujud generasi unggul berjiwa pemimpin? Bagaimana wajah negeri ini di masa depan? Alih-alih mewujudkan generasi berjiwa pemimpin, yang ada adalah the lost generation. Sistem pendidikan telah gagal mencapai tujuannya.
Pendidikan dalam pola pandang kapitalisme dianggap hanya sekedar pembantu untuk mencetak buruh - buruh kelas menengah yang memiliki keterampilan (buruh dalam kacamata kapitalisme adalah mesin berwujud manusia yang hanya akan dianggap berguna ketika ia mampu berfungsi. Tidak dianggap memiliki jiwa, perasaan, dan kalau sudah “rusak” tinggal dibuang lewat mekanisme PHK.) sedikit lebih baik dari mereka yang tidak berpen-didikan. Kini pendidikan hanya dianggap sebagai sarana atau bekal untuk mencari kerja. Padahal tujuan pendidikan sejatinya adalah sarana menuntut ilmu, membentuk sikap dan kepribadian seseorang. Sebagai contoh orang berbondong-bondong mengejar sebuah gelar “Sarjana” tanpa benar-benar memahami fungsinya. Ketika Program Sarjana tidak menghasilkan produk seperti yang diharapkan maka Perguruan Tinggi dituntut untuk menerapkan nilai kepraktisan dalam kuri-kulumnya. Jika ini dibiarkan, maka ke depan ilmu hanya akan berkembang sesuai kebutuhan para pemilik modal (kapitalis), karena kualitas out put pendidikan sekarang dinilai oleh pasar. Maka mau tidak mau sekolah dan Perguruan Tinggi saat ini harus mengikuti arus pragmatis. Hal inilah yang sedang menjangkiti para pelajar, mahasiswa, aktivis, bahkan dosen ataupun guru.
Tapi seiring dengan perkembangan zaman, pola yang sedemikian tidaklah lagi perlu dicapai lewat jalan pendidikan (baca:sekolah), karena keterampilan – keterampilan tersebut ternyata bisa didapat lewat jalur lain. Kini ketika sekolah sudah tidak lagi efisien menjadi pemasok buruh bagi pabrik – pabrik industry, maka sekolah pun dialih fungsikan menjadi “pabrik” itu sendiri dengan harapan mampu melahirkan produk siap pakai bernama “buruh profe-ssional”. Jika dulu kema-nusiaan manusia itu direnggut saat mereka bekerja, kini kemanusiaan kita direnggut sejak masuk sekolah.
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar